Kamis, 08 Juli 2010

Semoga Mereka Segera Bertaubat ......... InsyaAllah

Persetubuhan Terlarang, Siapa Tanggung Resiko ...... ?

Persetubuhan memang selalu diartikan sebagai hubungan persenggamaan antara dua manusia yang sedang menyalurkan hasrat seksualnya yang melebur bersama rasa cinta dan keintiman yang menyenangkan. Hanya saja, kita bisa berkreasi untuk menuturkan kata itu dalam konteks yang lain. Dengan begitu, makna denotatif itu bisa kita geserkan sedikit untuk membahasakan dinamika praktek politik kekuasaan di negeri kita yang masing tunggang langgang ini.
Kita harus akui, praktek kekuasaan di bumi pertiwi ini memang masih carut marut. Bisa kita mulai dari masalah penegakan hukum.Secara teoritis, hukum merupakan salah satu sarana utama untuk mendapatkan dan menegakkan keadilan. Proses penegakan hukum acap kali melibatkan praktek tawar menawar atau jual beli perkara yang dimainkan oleh para makelar kasus. Konsekuensi logisnya, penanganan masalah hukum pun bersifat diskriminatif dan tebang pilih.
Biasanya, aparat penegak hukum yang cenderung korup dan tidak jujur akan dengan tangkas dan jeli memanipulasi, memelintir, membelokan, dan merekayasa sedemikian rupa teks hukum. Celah-celah dan kelemahan teks hukum dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memuluskan menuver penegakan hukum yang bulus. Dampak ikutannya pun mudah diduga. Keputusan hukum yang diambil tampak seolah-olah benar dan adil sesuai dengan norma atau aturan hukum yang berlaku.
Setali tiga uang, pada lingkup politik, kekacauan dan muslihat itu tidak kalah kacaunya. Sulit untuk disangkal, politikus yang sangat oportunis dan pragmatis masih merajalela. Mereka bisanya mangkal di partai-partai politik yang ada. Siasat lobi dan kompromi politik para oportunis dan pragmatis ini kebanyakan mengalir dari dan bermuara kepada upaya untuk mengais keuntungan yang bermanfaat bagi lenggengnya kedudukan dan kekuasaan pribadi dan partai.
Kita kerap menyaksikan, membaca, dan mendengar berbagai berita media yang melansir perdebatan para elite tersebut. Titik lemah lawan politik diserang dan ditebas habis-habisan. Bahkan, luapan ekspresi kepentingan dan opini para elite dalam sebuah diskursus tidak jarang menghalalkan pengkadalan etika komunikasi politik. Tidak peduli apakah sebuah perdebatan diutarakan secara benar atau licik, santun atau barbar, tulus atau dibuat-buat, jujur atau berdusta. Kealpaan penilaian etis ini, dalam bahasa Soren Kierkegard, merupakan tahap hidup estetis. Tingkat hidup yang terendah dari tahapan hidup manusia..
Banyak perdebatan mengenai kebijakan-kebijakan tertentu. Namun, perdebatannya tidak akan sepi dari bentuk kegenitan berwicara yang kental dengan nuansa manipulatif. Tampak luarnya mencari keadilan bagi rakyat, tetapi sesungguhnya mereka hanya mengincar titik sasar yang tidak lain kecuali kepentingan dan posisi dalam lingkaran bengal kekuasaan.
Padahal, idealnya, para elite memiliki rasa tanggung jawab dalam mengejawantahkan harapan dan aspirasi masyarakat banyak. Namun, secara riil, sebagaimana dideskripsikan di atas, implementasi kekuasaan itu ternyata hanya mempertimbangankan kepentingan para elite tersebut. Negeri ini pun menjadi ladang subur menjamurnya berbagai ketimpangan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai ketimpangan lainnya.
Praktek politik yang porak-poranda ini menjadi bentuk nyata pengasingan hak rakyat. Barangkali tidak terlalu sarkas untuk dikatakan juga bahwa ejawantah kekuasaan seperti itu tidak lain merupakan bentuk persetubuhan terlarang para elite politik, penegak hukum, dan pengusaha koruptif dalam negara demokrasi seperti kita. Siapa yang tanggung resikonya?..Ya..kita sebagai rakyat….EDANE......... Hehehehehehehe

Salam Edane dari Pekanbaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar