Senin, 31 Agustus 2009

Kalau Penjahat Yang Dekat dengan Penguasa ......Pasti di Lindungi

Bank Century: Risiko Sistemik Kabinet SBY
Oleh bungaaster
Berkali-kali Menkeu Nyonya Sri Mulyani menyatakan bahwa alasan menyelamatkan Bank Century karena bank ini ‘berpotensi sistemik’ dalam merusak sistem perbankan nasional. Karena ada ‘resiko sistemik’ maka Negara –dalam hal ini LPS– bertanggung jawab untuk menyuntikkan dana 6,7 triliun rupiah ke bank tersebut. Sebuah argumen yang masih layak diperdebatkan, apakah sistemik yang dimaksud? Benarkah hipotesis bahwa kalau Bank Century tidak diselamatkan –alias langsung ditutup saja– akan ada potensi kerusakan sistemik? Ataukah itu hanya imajinasi paranoid dari para bankir sayap kanan –ideologi yang sama yang meruntuhkan perbankan pada 1998 dan Amerika pada dekade ini?
Menkeu juga berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan itu sah. Bahwa kebijakan ini telah melalui prosedur formal yang benar, sesuatu yang kemudian terbantahkan sebagian oleh kenyataan bahwa Perpu JPS telah ditolak DPR; dan bukti bahwa keputusan itu tanpa ijin/persetujuan lebih dahulu dari pemegang mandat politik, yaitu Tuan Presiden/Wapres. Khusus Tuan Presiden, sampai hari ini tidak ada konfirmasi apakah SBY menyetujui hal ini pada pertemuan tanggal 13 November 2008.
Beberapa pengamat –diantaranya Tuan Antonius Tony Prasetyantono, Chief Economist BNI dan dosen FE-UGM– menyatakan bahwa tidak ada potensi kerugian dalam kasus ini. Seperti juga Kepala LPS, Tuan Firdaus Djaelani, mereka menyatakan bahwa kerugian negara dalam kasus Bank Century adalah hipotetis karena bisa dijual dengan harga lebih mahal daripada dana suntikannya, sebuah mitos yang sejak BLBI pertama tidak pernah terbukti. Mungkin Tuan dan Nyonya sekalian masih ingat, recovery rate eks BPPN hanyalah sebesar 28%.
Saya kira kita perlu mengujinya satu per satu beberapa argumen yang ditawarkan pada publik belakangan ini.
Pertama, sistemik. Sampai hari ini BI dan Menkeu sebagai KKSK tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa itu resiko sistemik dan bagaimana itu bisa terjadi. Yang parah bahwa penjelasan sistemik itu barangkali tidak sampai di telinga Tuan Presiden dan Tuan Wapres sampai konfirmasi terakhir tanggal 25 November 2008 saat Nyonya Sri Mulyani melapor pada Tuan Wapres, 2 hari setelah pengucuran pertama sebesar 2,7 triliun pada tanggal 23 Nov.
Sistemik telah berubah menjadi loncatan logika yang ngawur. Sebuah problem di sebuah bank kecil yang diawali oleh kesalahan kriminal para bankirnya dipetakan sebagai punya potensi pengaruh pada keseluruhan sistem perbankan nasional. Imajinasi yang dibangun bahwa bila dibiarkan atau ditutup maka hal ini akan menciptakan rush pd perbankan nasional perlu diuji: apakah benar? Adakah penjelasan teknis mengenai hal ini? Ataukah jangan-jangan ada deposan besar tertentu yang perlu dilindungi atau ditalangi oleh LPS? Bagaimana saling terkait dengan bank atau institusi lain sehingga berpotensi sistemik? Berbagai gosip di dunia bawah tanah perbankan menduga bahwa ada deposan besar yang tersangkut uangnya dan harus ditalangi; mengganggu dan menuntut penjelasan apa yang dimaksud sistemik tersebut.
Yang menyakitkan adanya pikiran bahwa karena kesalahan kriminal di sebuah bank –ingat kasus Bank Century diawali oleh tindak penerbitan reksadana bodong dan eksposure kredit yang nakal– dapat ‘dibantu negara’ ketika ia bersifat sistemik. Apa ini? Seperti berpesan: jadilah penjahat yang punya pengaruh sistemik, pastilah dibantu negara.
Para pengamat dan juga Nyonya Menkeu selalu bilang bahwa uang talangan bukanlah uang negara. Apa benar? Setoran awal LPS senilai 4 T merupakan uang negara. Premi dari peserta penjaminan LPS pada akhirnya sebenarnya adalah uang rakyat. Ketika premi dihabiskan –atau menjadi mahal karena resiko sistemik yang diciptakan para bankir nakal– maka bebannya ditaruh pada pundak para deposan dan kreditur. SBI 6,5% tapi KPR 15%, selisih yang besar karena ada resiko pada sistem, harus ditanggung dengan membebankan premi pada ‘biaya’. Dan jatuhlah pada tanggungan Anda, Tuan dan Nyonya para nasabah bank kita tercinta.
Kedua, soal sah. Menkeu selalu berlindung pada argumen bahwa kebijakan ini diambil secara sah. Nyonya Menkeu lupa bahwa dalam azas kebijakan publik, sah saja tidak pernah cukup. Ada azas lain yang lebih penting, yaitu adil. Semua kebijakan Pak Harto juga sah; bahkan praktis semua kasus korupsi modern juga sah karena secara administratif telah memenuhi syarat formal. Korupsi modern diatur dalam ruang aturan legal yang ketat, melalui proses tender, ditetapkan melalui aturan formal dan sah. Memang sah tapi kok tidak adil ya? Kesalahan kriminal segelintir orang kok ditanggung oleh kita bersama?
Ketiga, potensi kerugian. Beberapa pengamat –seperti Tuan Toni– bilang bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus Bank Century. Apakah benar? Bahkan bila Tuan Toni memperhitungkan PV (present value) dari suntikan dana ini pada 3 tahun mendatang; apakah tidak ada potensi kerugian? Benarkah kita bisa menjamin bahwa pada 3 tahun mendatang nilai penjualan Bank Century lebih besar dari 6,7 triliun? Siapakah yang mau membeli dengan nilai lebih dari 6,7 triliun ketika aset dan resiko manajemennya jauh lebih rendah dari angka itu? Apalagi mengingat pengalaman 1998 ketika recovery rate aset eks bank hanyalah 28%?
Yang lebih tidak masuk akal adalah wacana yang dilontarkan pengamat –misalnya Tuan Toni– ini dinyatakan sebelum audit (BPK) dilakukan. Tidak ada laporan faktual yang kredibel yang menjelaskan posisi aset sebenarnya Bank Century, berapa kewajibannya, berapa Dana Pihak Ketiganya serta berapa aset bersih wajarnya? Baiklah barangkali Tuan-tuan di DPR yang membongkar kasus ini punya pretensi dengan bayangan kerugian besar tapi menyatakan bahwa Century tidak berpotensi kerugian merupakan imajinasi sesat.
Keempat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa beberapa pihak yang terlibat merupakan jantung dari kabinet SBY, sekarang dan kabinet mendatang. BI bersalah karena gagal melakukan pengawasan yang baik; pimpinannya waktu itu adalah Tuan Boediono yang sekarang jadi Wapres terpilih. Tuan Boediono bahkan ditunjuk Jenderal SBY untuk memimpin penyusunan program kerja 100 harinya. Pihak lain yang terlibat adalah Nyonya Sri Mulyani, Menkeu sekarang dan dipastikan salah satu jantung mesin ekonomi SBY di kabinet mendatang.
Luar biasa. Dengan orang-orang yang sama, cara berpikir yang sama serta cara mengelola kebijakan publik yang sama; menurut saya mengkhawatirkan untuk membayangkan bagaimana mesin kabinet SBY mengolah kebijakan publik di masa depan. Dengan kasus yang identik di masa depan ataukah kasus lain, sulit mengharapkan adanya keluaran kebijakan berbeda pada periode mendatang.
Orang yang sama, cara berpikir yang sama dan cara mengelola kebijakan publik yang sama merupakan resiko yang melekat pada kabinet SBY mendatang. Dan kasus Bank Century membuat gamblang bagaimana resiko sistemik yang melekat pada kabinet mendatang. Resiko sistemik, resiko yang melekat pada sistem kerja sebuah organisasi.
Cilaka dua belas, Tuan dan Nyonya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar