Jumat, 07 Agustus 2009

Renungan Teruuuuuuuuusssssssssss ......

Menyingkap Misteri di Mahkamah Konstitusi

>Data DPT dalam soft copy, baru diberikan oleh KPU kepada dua pasangan, hanya satu hari menjelang hari pencontrengan. KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengakui bahwa telah memberikan data DPT kepada Mega Prabowo berbeda dengan data DPT yang diberikan kepada JK-Wiranto. Itupun ternyata masih ditambah lagi dengan persoalan bahwa data DPT yang diberikan itu juga tidak sama dengan data DPT yang digunakan KPU untuk rekapitulasi manual.
“Apa benar data yang diberikan ke dua pasangan calon berbeda ?”, tanya hakim MK, Abdul Mukthie Fadjar.
“Iya, itu karena SK (Surat Keputusan) nya berbeda. Kami baru mengeluarkan SK pada 6 Juli 2009 malam. Waktu diberi itu data lama, di beberapa wilayah ada yang masih berupa DPS (Daftar Pemilih Sementara)”, jawab anggota KPU, Endang Sulastri, membenarkannya.
“Kenapa diberikan kalau berbeda ?” cecar Mukthie.
“Bukan seperti itu. Karena waktu itu belum lengkap dan belum sempurna. Dan pasangan nomor 1 dan nomor 3 meminta salinan DPT”, elak Endang sambil tersenyum tipis.
“Semacam untuk menghibur saja ?”, Mukhtie menegaskannya.
Tentu saja, para peserta sidang menjadi riuh mendengar dialog ini.
Selain itu, fakta di lapangan juga diketemukan bahwa banyak pemilih yang tidak memiliki NIK, selain itu banyak juga pemilih dengan NIK yang sama. Padahal, menurut Dirjen Adminduk, Abdul Rasyid Saleh, dalam DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih) yang diserahkan Depdagri kepada KPU, semua nama memiliki NIK, dan tidak ada satu pun NIK yang sama.
Soal NIK ini, di UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu, disebutkan bahwa daftar nama pemilih harus memuat NIK. Maka, aneh kalau KPU sebagai penyelenggara pemilu dan selaku pihak yang berwenang menetapkan DPT malah tidak mengetahui hal tersebut.
“Kemarin, KPU bilang NIK nggak wajib ada di DPT. KPU Jateng yang bilang, yang pakai ngancam-ngancam. Saya catat itu. Kalau penyusunnya saja nggak tahu UU, wajar saja DPT-nya amburadul. Nggak baca UU itu”, kata hakim Akil Mochtar dalam sidang di MK.
Berkait gencarnya cercaan pertanyaan soal seputar DPT ini mungkin membuat KPU menjadi gerah. Maka, muncullah ancaman akan adanya gugatan balik dari KPU yang dilontarkan oleh Ketua KPU Jawa Tengah, Ida Budiarti. “Kami tantang saksi soal sejumlah kader partai yang tidak terdaftar. Kalau tidak bisa buktikan, kami akan tuntut pidana”.
Mendengar hal itu, Ketua Majelis Hakim MK, Mahfud MD yang memimpin sidang, langsung meluruskan duduk persoalan soal pertanyaan dan kesaksian berkait tuntutan balik pidana dalam proses persidangan itu. Dijelaskan oleh Ketua MK bahwa dalam sidang itu semua orang bebas untuk mengemukakan kesaksiannya.
Begitulah sekilas gambaran betapa sidang MK telah semakin membuka fakta tentang banyaknya kejanggalan yang terjadi di seputar DPT di Pilpres kemarin itu.
Kita tentu menyadari bahwa hasil yang baik itu sangat ditentukan oleh proses yang baik. Begitu juga jika sebuah input yang salah maka mustahil akan menghasilkan output yang benar. Sehingga tentunya kehidupan demokrasi yang baik ditentukan oleh proses demokrasinya.
Pemilu yang sudah berlangsung, harus bisa menjadi bekal untuk penyelengaraan pemilu berikutnya yang semakin baik. Dan penyelengaraan pemilu yang semakin hari semakin baik adalah investasi penting bagi mutu kualitas kehidupan berdemokrasi yang semakin baik. Pemilu yang makin baik adalah pemilu yang minim pertanyaan akan pelaksanaannya, karena semuanya jelas dan transparan, dalam pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil. Dan, karena itu pula maka KPU tidak boleh mengelak dari tanggung jawabnya selaku penyelengaran pemilu.
Jika setiap kesalahan dan kealpaan, atau bahkan pelanggaran undang-undang dibiarkan saja, dan bila individu atau organisasi atau sekelompok orang malahan menikmati kenyamanan atas sebuah ketidakbenaran atau kesalahan yang malahan dipaksakan agar dianggap sebagai kebenaran, serta hal itu dibelanya dengan segala cara, maka perjalanan kehidupan demokrasi bangsa ini akan senantiasa terjerembab pada masalah yang sama.
Nah, atas semangat inilah kita hendaknya memaknai proses yang sedang berlangsung di MK ini yang diakibatkan banyaknya pertanyaan atau pencarian tentang kebenaran yang tidak terjawab secara memuaskan. Kebenaran tidak selalu ditentukan oleh mereka yang memiliki jumlah massa yang banyak. Dalam konteks demokrasi yang taat asas supremasi hukum, proses di MK ini harus dimaknai sebagai bagian dari upaya menemukan kebenaran. Ini tentang proses berdemokrasi, tentang pelaksanaan pemilunya, bukan hasil pemilunya.
Sebuah kekalahan atau kemenangan dari pemilu hanyalah sebuah konsekuensi dari sebuah proses demokrasi saja. Namun jika proses demokrasinya tercederai dalam pelaksanaan pemilunya, maka dampak yang tidak terelakkan adalah legitimasi pemenang yang berkurang. Dan ini tentu akan menjadi bebannya presiden terpilih dalam perjalanan pemerintahannya selama lima tahun ke depan.
Oleh sebab itu, setelah semuanya diputuskan oleh MK, haruslah ditaati oleh semua pihak. Inilah wujud sejati dari negara yang berpegang pada asas supremasi hukum, bukan supremasi politik.
Kebenaran itu tidak selamanya manis. Terkadang kebenaran sangat pahit, tetapi harus ditempuh. Karena itu tidak ada pilihan lain, sengketa tentang kebenaran haruslah ditempuh melalui jalan hukum. Dan, bagi partai maupun elite politiknya, diharapkan untuk legowo untuk menghormati dan mengapresiasi proses yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi itu. Serta nantinya melaksanakan apapun amar keputusan akhir MK yang telah berkekuatan tetap.
Semoga, ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua pengampunya, sehingga dimasa mendatang, di Pileg dan Pilpres tahun 2014 mendatang, dapat lebih berhati-hati dan lebih cermat lagi dalam memilih person-person yang lebih profesional dan independen untuk didudukkan sebagai komisioner dalam Komisi Pemilihan Umum.
Wallahualambishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar